Tampak
depan dari Gedung Museum Sumpah Pemuda, 1 September 2010
--------------
Museum Sumpah Pemuda adalah sebuah
museum sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia yang berada di Jalan
Kramat Raya No. 106, Jakarta Pusat dan dikelola oleh Kementerian Kebudayaan dan
Pariwisata Republik Indonesia.
Museum ini dibuka untuk umum, setiap hari Selasa
sampai dengan Jumat dari pukul 08.00 hingga 15.00 UTC+7, setiap Sabtu dan
Minggu pada pukul 08.00—14.00 WIB, dan setiap hari Senin dan hari besar
nasional, museum ini ditutup untuk umum. Museum ini memiliki koleksi foto dan
benda-benda yang berhubungan dengan sejarah Sumpah Pemuda 1928, serta
kegiatan-kegiatan dalam pergerakan nasional kepemudaan Indonesia. Museum Sumpah
Pemuda ini didirikan berdasarkan SK Gubernur DKI Jakarta pada tahun 1972 dan
menjadi benda cagar budaya nasional.
Sejarah
Bangunan di Jalan Kramat Raya 106,
tempat dibacakannya Sumpah Pemuda, adalah sebuah rumah pondokan untuk pelajar
dan mahasiswa milik Sie Kok Liong.
Di gedung milik Sie Kok Liong ini pernah
tinggal beberapa tokoh pergerakan, seperti
Muhammad Yamin
Aboe Hanifah
Amir Sjarifuddin
A.K. Gani
Mohammad Tamzil atau Assaat dt Moeda.
Sejak 1925 gedung Kramat 106 menjadi
tempat tinggal pelajar yang tergabung dalam Jong Java. Mereka kebanyakan
pelajar Sekolah Pendidikan Dokter Hindia alias Stovia. Aktivis Jong Java
menyewa bangunan 460 meter persegi ini karena kontrakan sebelumnya di Kwitang
terlalu sempit untuk menampung kegiatan diskusi politik dan latihan kesenian
Jawa. Anggota Jong Java dan mahasiswa lainnya menyebut gedung ini Langen Siswo.
Sejak 1926, penghuni gedung ini makin beragam. Mereka kebanyakan aktivis pemuda
dari daerahnya masing-masing. Kegiatan penghuni gedung itu juga makin beragam.
Selain kesenian, mahasiswa di gedung ini aktif dalam kepanduan dan olahraga.
Gedung ini juga menjadi markas Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI),
yang berdiri pada September 1926, usai kongres pemuda pertama. Penghuni
kontrakan, dengan payung PPPI, sering mengundang tokoh seperti Bung Karno untuk
berdiskusi. Para pelajar menyewa gedung itu dengan tarif 12,5 gulden per orang
setiap bulan, atau setara dengan 40 liter beras waktu itu. Mereka memiliki
pekerja yang mengurus rumah yang dikenal dengan nama Bang Salim. Pemerintah
Hindia-Belanda selalu mengawasi dengan ketat kegiatan rapat pemuda. Pemerintah
memang mengakui hak penduduk di atas 18 tahun mengadakan perkumpulan dan rapat.
Namun bisa sewaktu-waktu memberlakukan vergader-verbod atau larangan mengadakan
rapat, karena dianggap menentang pemerintah. Setiap pertemuan harus mendapat
izin dari polisi. Setelah itu, rapat dalam pengawasan penuh Politieke
Inlichtingen Dienst (PID), semacam dinas intelijen politik. Rumah 106 ini juga
selalu dalam kuntitan dinas intelijen ini, termasuk rapat ketiga Kongres Pemuda
II. Di gedung ini juga muncul majalah Indonesia Raya, yang dikelola PPPI.
Karena sering dipakai kegiatan pemuda yang sifatnya nasional, para penghuni menamakan
gedung ini Indonesische Clubhuis, tempat resmi pertemuan pemuda nasional. Sejak
1927, mereka memasang papan nama gedung itu di depan. Padahal Gubernur Jenderal
H.J. de Graff sedang menjalankan politik tangan besi. Kegiatan pemuda dialihkan
ke Jalan Kramat 156 setelah para penghuni Kramat 106 tidak melanjutkan sewanya
pada 1934. Gedung itu lalu disewakan kepada Pang Tjem Jam sebagai tempat
tinggal pada 1937-1951. Setelah itu, gedung disewa lagi oleh Loh Jing Tjoe,
yang menggunakannya sebagai toko bunga dan hotel. Gedung Kramat 106 disewa
Inspektorat Bea dan Cukai untuk perkantoran pada 1951 - 1970. Pada 1968,
Sunario berprakarsa mengumpulkan pelaku sejarah Sumpah Pemuda, dan meminta
kepada Gubernur DKI mengelola dan mengembalikan gedung di Kramat Raya 106 milik
Sie Kong Liang yang telah berganti-ganti penyewa dan pemilik kepada bentuknya
semula. Tempat ini disepakati menjadi Gedung Sumpah Pemuda, tetapi usulan
mengganti nama jalan Kramat Raya menjadi jalan Sumpah Pemuda belum tercapai. Gedung
Kramat 106 sempat dipugar Pemda DKI Jakarta 3 April-20 Mei 1973 dan diresmikan
Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pada 20 Mei 1973 sebagai Gedung Sumpah
Pemuda. Gedung ini kembali diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 20 Mei 1974.
Dalam perjalanan sejarah, Gedung Sumpah Pemuda pernah dikelola Pemda DKI
Jakarta, dan saat ini dikelola Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata. (
id.wikipedia )